ASAL NAMA AZMATKHAN
Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India.
Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit.
Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang.
Adapun nasab Sayyid Abdul Malik adalah sebagai berikut:
Abdul Malik bin Alawi (Ammil Faqih) bin Muhammd Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasa bin Alawi bin Muhammad bin Alawi (Asal usul marga Ba’alawi atau Al-Alawi) bin Abdullah / Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW.
Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda’wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berdakwah.
Berkatalah H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”.
“Sayyid Abdul Malik Bin Alwi lahir di Kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Beliau meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India, beliau bermukim di Kota Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa orang anak laki-laki dan perempuan, di antaranya ialah Sayyid Amir Khan abdullah bin Sayyid Abdul Malik, yang lahir di Kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir di sebuah desa di dekat Kota Nashr Abad. Beliau adalah putra kedua dari Sayyid Abdul Malik”.
Nama putra Sayyid abdul Malik adalah “Abdullah”, penulisan “Amir Khan” sebelum “Abdullah” adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmat Khan. Al-Amir adalah gelar utuk pejabat wilayah. Sedangkan, Azmat Khan adalah marga beliau mengikuti gelar Ayahanda.
Sebagian orang ada yang menulis “Abdullah Khan”, mungkin ia hanya ingat “Khan” nya saja, karena marga “khan” (tanpa Azmat) memang populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan “Abdullah Khan” itu kurang tepat, karena “Khan” adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan dari marga Ba’alawi, atau Al-Alawi Al-Husaini.
Ada yang berkata bahwa di India, mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmat Khan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.
Sayyid Abdullah Azmat Khan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliau pun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan di dalam memperkenalkan sebuah budaya.
Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah ini. maka, bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda’wah di tanah Jawa.
H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:
“Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad”.
Nama beliau adalah Ahmad, adapun “Al-Amir Al-Mu’azhzham” adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang di agungkan, sedangkan “Syah” adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang raja, bangsawan dan pemimpin, sementara “Maulana” adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama Besar.
Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar “Syah Jalaluddin”.
H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:
“Maulana Ahmad Syah Mu’azhzham adalah seorang besar, Ia di utus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu ia di angkat sebagai Wazir (Menteri). Ia mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, kamboja, Siam (Thailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari (?) meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kezhaliman Maharaja India pada waktu terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.
Di antara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya di sertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar “Tajul-Muluk”. Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana’uddin.”
Sayyid Jamaluddin Al-Husain oleh sebagian orang Jawa di sebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Husain, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tambahan, sehingga nama beliau juga di tulis “Husain Jamaluddin”. Adapun “Syahan Syah”, artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahan Syah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah SAW melarang pemberian Syahan Syah pada selain Allah.
Sayyid Husain juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau mendirikan sebuah Kesultanan di Thailand. Beliau di kenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal di lama di Baghdad. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek motyang daripada keluarga Azmat Khan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.
Sayyid Husain memiliki tujuh orang putra, sebagai berikut :
- Sayyid Ibrahim, diketahui memiliki tiga orang putra, antara lain :
- Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri). Keturunannya mulai terdata.
- Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri). Keturunannya mulai terdata.
- Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Keturunannya mulai terdata.
- Sayyid Barakat, diketahui memiliki empat orang putra, antara lain :
- Sayyid Abdurrahman Ar-Rumi. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
- Sayyid Ahmad Syah. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
- Maulana Malik Ibrahim. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
- Sayyid Abdul Ghafur, diketahui memiliki satu putera, yakni :
- Sayyid Ibrahim. Diketahui memiliki dua putera, yakni :
- Fathullah (Falatehan). Keturunannya mulai terdata.
- Nyai Mas Gandasari (isteri Sunan Gunung Jati).
- Sayyid Ibrahim. Diketahui memiliki dua putera, yakni :
- Sayyid Ali Nurul Alam, memiliki dua orang putera, antara lain :
- Sayyid Abdullah, memiliki dua orang putra antara lain:
- Syarif Nurullah. Keturunannya mulai terdata.
- Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Keturunannya mulai terdata.
- Sayyid Utsman Haji (sunan Ngudung), menikah dengan cucu Sunan Ampel dan berputera Ja’far Ash-Shadiq (Sunan Kudus). Keturunannya mulai terdata.
- Sayyid Haji Utsman (sunan Manyuran). Keturunannya mulai terdata.
- Sayyid Abdullah, memiliki dua orang putra antara lain:
- Sayyid Fadhal (Sunan Lembayung). Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
- Sayyid Abdul Malik. Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
- Pangeran Pebahar. Kami belum mendapatkan nama Arab dan riwayat beliau. Beliau adalah kakek dari Tuan Faqih Jalaluddin, Ulama Palembang pada masa Sultan Mahmud Badaruddin. Diketahui memiliki keturunan.
- Abdillah. Yang ketujuh belum kami dapatkan nama dan riwayatnya dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
Adapun Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi memiliki tiga orang putera dan seorang puteri yang semuanya berdakwah dan meninggal di Cirebon Jawa Barat, antara lain :
- Syekh Datuk Kahfi. Diketahui memiliki keturunan.
- Sayyid Abdurrahman (Pangeran Panjunan). Keturunannya mulai terdata.
- Sayyid Aburrahim (Pangeran Kejaksan). Diketahui memiliki keturunan.
- Syarifah Ratu Baghdad, menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Asal Usul Keluarga
Ketika Al-Qasim, putra Rasulullah SAW, wafat dalam usia masih kecil, terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah SAW dengan mengatakan bahwa beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliau, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Untuk menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu, Allah menurunkan surat Al-Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi:
“Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.”
Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa Allah akan memberi banyak keturunan pada Rasulullah SAW melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’. Sementara Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar, bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu ayat..
“Sesungguhnya orang yang mengejekmu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”
Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah SAW, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.
Sekedar gambaran, IKAZHI memiliki banyak data tentang silsilah Ulama-ulama Pesantren yang dikenal sebagai “Kiai” Indonesia, khususnya Jawa (termasuk Madura), dimana kebanyakan dari mereka memiliki garis nasab pada Rasulullah SAW, seperti Kiai-kiai keturunan keluarga Azmatkhan, Basyaiban dan sebagainya. Kemudian, di berbagai daerah, kaum santri sangat didominan oleh keluarga-keluarga yang bernasab sama dengan Kiai-kiai itu, bedanya hanya karena beberapa generasi sebelum mereka tidak berprestasi seperti leluhur “keluarga Kiai”, sehingga setelah selisih beberapa generasi, merekapun tidak dikenal sebagai “keluarga Kiai”, tapi hanya sebagai “keluarga santri”.
Di Madura ada semacam “pepatah” yang mengatakan bahwa kalau ada santri yang sampai bisa membaca “kitab kuning” maka pasti dia punya nasab pada “Bhujuk”. Bhujuk adalah julukan buat Ulama-ulama zaman dulu yang membabat alas dan berda’wah di Madura. Semua Bhujuk Madura memiliki nasab pada Rasulullah SAW. Kebanyakan mereka keturunan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus. “Pepatah” itu memang hanya dibicarakan di kalangan “orang awam”, namun kenyataan memang sangat mendukung, karena hampir semua masyarakat santri di Madura adalah keturunan “Bhujuk”, sehingga tidak mustahil apabila di Madura orang yang memiliki “darah Rasulullah” lebih banyak daripada yang tidak. Kami banyak mendapati perkampungan yang mayoritas penduduknya masih satu rumpun dari keturunan seorang Bhujuk yang bernasab pada semisal Sunan Ampel dan sebagainya.
Mungkin hal itu akan menimbulkan pertanyaan “mengapa bisa demikian?”. Maka jawabannya adalah bahwa keluarga Bhujuk dan Kiai Madura dari zaman dulu memiliki anak lebih banyak daripada orang biasa, apalagi hampir semua mereka dari zaman dulu -bahkan banyak juga yang sampai sekarang- memiliki istri lebih dari satu, maka tentu saja setelah puluhan generasi maka keturunan Bhujuk-bhujuk itu lebih mendominan pulau Madura.
Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari perempuan, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah “sepakat” untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Paham “garis perempuan putus nasab” berakibat pada penolakan terhadap keturunan Rasulullah sebagai Ahlul-bayt. Ada orang awam yang berkata bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki keturunan dari anak laki-laki, Hasan-Husain adalah putra Fathimah yang berarti putus nasab dari Rasulullah SAW. Paham ini sebenarnya adalah warisan bangsa Arab jahiliyah yang pernah diabadikan dalam syair mereka:
“Anak-anak kami adalah keturunan
dari anak-anak laki-laki kami.
Adapun anak-anak perempuan kami,
keturunan mereka adalah anak-anak orang lain.”
Cucu dari anak perempuan itu hanya keluar dari deretan daftar ahli waris, dalam istilah ilmu “Fara’idh” disebut “mahjub” (terhalang untuk mendapat warisan). Namun dalam deretan “dzurriyyah” (keturunan), cucu dari anak perempuan tidak beda dengan cucu dari anak laki-laki; mereka sama-sama cucu yang akan dipanggil “anakku” oleh kakek yang sama. Apabila kakek mereka adalah orang shaleh maka mereka sama-sama masuk dalam daftar keturunan yang akan mendapat berkah dan syafa’at leluhurnya, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman dan anak-cucu mereka mengikuti mereka dengan beriman, maka Kami gabungkan anak cucu mereka itu dengan mereka .. “ (Q.S. Ath-Thur : 21)
Jadi, madzhab mayoritas para Kiai adalah bahwa cucu dari garis perempuan dan dari garis laki-laki itu sama-sama cucu, kalau kakek mereka ulama shaleh maka -insyaallah- mereka sama-sama akan mendapat berkah. Termasuk anak cucu Rasulullah SAW, baik yang garis silsilahnya laki-laki semua hingga ke Fathimah binti Rasulillah SAW, maupun yang melalui garis perempuan.
Madzhab ini telah lama dianut oleh Kiai-kiai keturunan Walisongo, terbukti dengan banyaknya kiai-kiai yang menulis nasab mereka yang bersambung pada Walisongo melalui garis perempuan. Terbukti pula dengan yang dikenal oleh Kiai-kiai bahwa Syekh Kholil adalah cucu Sunan Gunung Jati, padahal nasab Syekh Kholil pada Sunan Gunung Jati melalui garis perempuan, sedangkan dari garis laki-laki bernasab pada Sunan Kudus.
Kembali ke bab kita, bahwa di Madura banyak terdapat keluarga-keluarga yang memiliki nasab pada Rasulullah, maka seperti di Madura, begitu pula yang terjadi di berbagai wilayah masyarakat Pesantren lainnya di Jawa. Maka bayangkan saja, betapa keturunan Rasulullah SAW telah memenuhi pulau Jawa, belum lagi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain. Ditambah dengan “jamaah habaib” yang memang sudah dikenal dengan “status menonjol” sebagai keturunan Rasulullah SAW.
Ini yang terjadi di Indonesia, dan demikian pula di negeri-negeri non Arab yang lain, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, India, Pakistan, Afrika dan sebagainya. Banyak dari mereka yang sudah membaur dengan penduduk setempat sehingga mereka tidak lagi dikenal sebagai “Habib”, “Sayyid” atau julukan-julukan lainnya. Dalam kitabnya, “’Allimu Auladakum Mahabbata Aalin Nabi”, Syekh Muhammad Abduh Yamani mengatakan bahwa di Afrika banyak terdapat orang-orang kulit hitam yang ternayata memegang sisilsilah pada Rasulullah. Hal itu dikarenakan leluhur mereka berbaur dengan orang kulit hitam, bergaul dan menikah dalam rangka menjalin hubungan sebagai jembatan da’wah. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa masih banyak keturunan Rasulullah SAW yang tidak terdata dan tidak dikenal. Itu adalah gambaran jumlah keturunan Rasulullah SAW yang keluar dari tanah Arab dan tidak lagi dikenal sebagai orang Arab. Jumlah yang amat besar ditambah dengan jumlah keturunan Rasulullah SAW yang di Arab.
Maka kenyataan ini membenarkan apa yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat Al-Kautsar, bahwa Rasulullah SAW akan diberi karunia agung dengan memiliki keturunan yang amat banyak. Sehingga kalau saja beliau dan orang-orang sezaman beliau masih hidup saat ini, maka beliau akan memiliki keluarga terbesar yang tak tertandingi oleh yang lain. Bisa jadi, bila kita mengumpulkan semua keturunan Rasulullah SAW sejak zaman beliau hingga kini, kemudian kita mengumpulkan seratus orang dari sahabat-sahabat beliau beserta keturunan mereka hingga kini, maka jumlah keturunan beliau akan mengalahkan keturunan seratus orang sahabat beliau.
Antara Robithoh Azmatkhan Dan Robithoh Alawiyah
Robithoh Alawiyah adalah ikatan keluarga Ahlul-bayt keturunan Al-Hasan dan Al-Husain putra Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW. Robithoh Alawiyah sudah ada sejak masa khilafah Abbasiah, saat itu dikenal dengan istilah “Niqobah” dan penanggung-jawabnya disebut “Naqib”. Sayyid Isa (ayah Sayyid Ahmad Al-Muhajir) dan ayah beliau (Sayyid Muhammad bin Ali Al-‘Uradhi) termasuk yang bertanggung jawab atas Niqobah, makanya masing-masing mereka dijuluki An-Naqib.
Awalnyanya Robithoh Alawiyah merupakan lembaga resmi dibawah manajemen pemerintah karena berkaitan dengan masalah kuhumusul-khumus. Kini Robithoh Alawiyah telah menjadi ikatan keluarga yang mandiri dan lebih banyak bergerak dalam bidang koordinasi antar keluarga Alawiyyin. Di tiap negara dimana disitu terdapat Alawiyyin, disitu dibentuk perkumpulan Alawiyyin untuk menjalin silaturrahim, termasuk di Indonesia yang berpusat di Jakarta.
Sebagian orang menganggap bahwa sebagian perkumpulan Alawiyin ada yang saling tidak mengakui keabsahan nasab kelompok lain, baik antar kelompok dalam satu negara maupun lain negara. Maka perlu dipahami bahwa yang terjadi sebenarnya bukan tidak mengakui, melainkan tidak mengenal sehingga tidak bisa mengomentari. Hal ini sangatlah wajar, karena Alawiyyin berpencar ke penjuru dunia sejak belasan abad yang lalu.
Kalaupun memang benar ada kelompok yang menolak kelompok lain, seperti yang terjadi pada sebagian kelompok Alawiyyin Yordania yang tidak mengakui keabsahan nasab keluarga Ba’lawi (Hadhramaut), maka hal ini hanyalah suatu ketidakdewasaan yang terjadi pada sebuah kelompok kecil dan bukan mewakili cara berfikir ahlul-bayt pada umumnya. Apalagi masalah pengakuan nasab itu sudah dibahas oleh ulama fiqih dengan gamblang, bahwa ada aturan didalam mengaku dan menolak sebuah nasab.
Berkaitan dengan Robithoh Alawiyah, Robithoh Azmatkhan tidak termasuk dalam manajemen Robitoh Alawiyah, melainkan hanya membantu Robithoh Alawiyah didalam pendataan, karena sebenarnya pendataan keluarga Azmatkhan juga tugas Robithoh Alawiyah.
Dan didalam pendataan dan pengesahan nasab, Robithoh Azmatkhan memiliki standar yang berbeda dengan Robithoh Alawiyah, standar Robithoh Azmatkhan memiliki tiga istilah tingkatan.
- Shahih : Silsilah garis laki-laki yang cukup untuk memenuhi standar Robithoh Alawiyah. Yaitu silsilah para Sultan yang diakui sejarah, silsilah keluarga yang dikenal keluarga kesultanan dan silsilah keluarga yang tertulis rapi secara turun temurun tanpa adanya riwayat berbeda. Robithoh Azmatkhan mengesahkan pemilik “Silsilah Shahih” untuk menggunakan nama belakang “Azmatkhan” dan dapat merekomendasikannya kepada Robithoh Alawiyah.
- Hasan : Silsilah garis laki-laki yang tertulis rapi secara turun temurun, tapi ada beberapa riwayat berbeda yang tidak keluar dari jalur Azmatkhan. Robithoh Azmatkhan mengesahkan pemilik “Silsilah Hasan” untuk menggunakan nama belakang “Azmatkhan”, namun tidak dapat merekomendasikannya kepada “Robithoh Alawiyah” sampai mendapatakan argumen yang mengukuhkan salah satu riwayat.
- Khu’ulah : Silsilah garis perempuan. Dalam standar keabsahan silsilah, khu’ulah sama dengan “Shahih” dan “Hasan”, tergantung jenis riwayatnya. Bedanya, pemililik “Silsilah Khu’ulah” diharuskan mencantumkan kalimat “khu’ulah” apabila mau menggunakan nama belakang “Azmatkhan” dan dalam penulisan cukup ditulis “Kh.” sehingga menjadi “Azmatkhan Kh.”, hal itu untuk tidak mengacau istilah pernasaban yang berlaku dalam budaya Arab. Robithoh Azmatkhan tidak dapat merekomendasikan “Silsilah Hasan” kepada “Robithoh Alawiyah”.
Yang dimaksud merekomendasikan pada Robithoh Alawiyah adalah mengusahakan untuk mendapatkan pengesahan resmi sebagai ahlul-bayt yang mendapatkaan hak semisal wakaf Alawiyyin dan khumusul-khumus.
Dalam hal pengakuan sebagai keluarga, Robithoh Azmatkhan sama sekali tidak membedakan antara pemilik Slilsilah Shahih, Silsilah Hasan dan Silsilah Khu’ulah, semua berhak mendapat kartu anggota dengan ketentuan yang ditetapkan dan silsilahnya akan ditulis dalam kartu.
Selebihnya, untuk sementara Robithoh Azmatkhan menyarankan agar anggotanya tidak meminta apalagi menuntut pengesahan dari Robithoh Alawiyah. Apabila nasabnya benar maka kelak di akhirat Rasulullah SAW akan mengakuinya sebagai cucu, tidak kurang dari ahlil-bayt yang telah disahkan oleh Robithoh Alawiyah.
Budaya Toleransi : Tokoh-Tokoh yang menjunjung Tinggi Toleransi
Sejarah mencatat betapa leluahur keluarga Azmatkhan yang tergabung dalam Walisongo sangat toleransi dan amat pandai beradaptasi. Seorang berbangsa Arab dapat duduk bersanding dengan orang-orang jawa, baik bangsawan maupun rakyat jelata Jawa, sementara orang-orang Jawa sendiri justru terkotak-kotak oleh ras yang selama itu mereka pahami. Kalau bukan karena karomah “pandai beradaptasi” serta “pandai menempatkan diri”, tentu mereka tidak akan diterima oleh kaum bangsawan ketika mereka diketahui dekat dengan kaum jelata, dan tentu kaum jelata akan menuhankan mereka karena mereka dapat menaklukkan para penguasa.
Toleransi dan adaptasi terhadap budaya dan lingkungan merupakan salah satu ajaran penting yang ditanamkan oleh leluhur keluarga Azmatkhan, karena mereka tahu bahwa masyarakat Jawa dan sekitarnya memiliki banyak ragam budaya dan kepercayaan, dan tujuan daripada mengedepankan adaptasi adalah untuk mendapatkan simpati. Tidak semua yang benar itu yang terbaik, suatu permasalahan bisa saja memiliki point-point sikap yang dapat dibenarkan, namun dari point-point itu terkadang ada satu saja yang sebaiknya atau bahkan seharusnya dipilih, dengan pertimbangan lebih memungkinkan orang lain bersimpati.
Toleransi dan adaptasi, itulah peninggalan penting ajaran leluhur keluarga Azmatkhan. Kini hal itu telah pudar dari segolongan muslimin yang mengaku penerus perjuangan jihad Walisongo, sehingga ke-kurang toleransi-an itu banyak menimbulkan keributan yang ujungnya justru menempatkan Islam pada target hujatan orang-orang non muslim. Hal itu bisa kita lihat dengan maraknya kasus teror yang kemudian ditemukan seorang muslim ‘fanatik’ sebagai pelakunya, maraknya keributan antar tokoh muslim yang dapat memberi kesan ke-tidak dewasa-an. Maka hendaknya kita telaah kembali sejarah keberhasilan Ulama Salaf Indonesia (tokoh-tokoh Walisongo), dimana kita akan menemukan mereka sebagai tokoh anti fanatisme, tokoh yang toleran dan menjunjung tinggi sikap beradaptasi.
Anti Fanatisme Golongan
Sayyid Abdul Malik mendapatkan gelar Azmatkhan setelah beliau hijrah ke India dalam rangka berda’wah, dan sejak itu keturunan beliau menggunakan “Azmatkhan” sebagai marga, namun mereka tidak suka dengan sikap fanatik masyarakat yang hanya mengedepankan garis keturunan, sehingga merekapun menanggalkan marga ke-sayyid-an agar mereka tidak dihormati lebih karena nasab mereka, mereka sengaja tidak memakai marga “Azmatkhan” atau “Ba’alawi” didalam memenyebut nama mereka, yang di India berbaur dengan orang-orang India bisa, demikian pula yang kemudian keluar dari India.
Maka satu hal yang ditekankan IKAZHI dengan menyuguhkan masalah ini, yaitu agar keluarga Azmatkhan, khususnya yang keluarga Kiai, lebih mengedepankan prestasi daripada trah.
Berangkat dari fanatik terhadap sebuah keluarga, fanatik terhadap sebuah golongan atau madzhab juga akan mendapatkan tempat di hati orang yang kurang wawasan. Fanatik terhadap pecahan golongan atau faham adalah merupakan suatu aib bagi golongan atau faham pada umumnya. Tidak jarang kita menangkap seorang pelaku teror dan si teroris dengan tenangnya menyatakan merasa tidak bersalah. Kefanatikan terhadap sebuah faham membuatnya enggan kompromi dengan faham lain.
Tidak jarang kita menemukan dua tokoh bertikai dan para pendukung mereka berkelahi, kemudian masing-masing menyatakan sama sekali tidak bersalah dengan ulah kekanak-kanakan, itu, karena kefanatikan terhadap seorang tokoh membuat mereka enggan menyimak penjelasan tokoh lain. Nah, ketika mereka yang fanatik dan “berulah” itu membawa nama golongan yang lebih besar, maka tentu saja banyak anggota “golongan yang lebih besar” itu menjadi dirugikan, karena orang diluar golongan mereka akan punya alasan untuk menilai golongan itu sebagai golongan yang tidak simpatik.
Leluhur keluarga Azmatkhan sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Kita semua tahu bahwa pendirian Kesultanan Islam Demak adalah atas prakarsa kelompok Wali Songo yang terdiri dari keluarga Azmatkhan dan waktu itu dipimpin oleh Sunan Ampel. Ketika pendirian Kesultanan Demak dimulai maka Sunan Ampel menunjuk murid beliau, Abdul Fattah (Raden Patah), untuk menduduki kursi kesultanan.
Semula Raden Patah menolak karena merasa ada yang lebih layak untuk menjadi Sultan, beliau memohon agar Sunan Ampel saja yang menjabat sebagai Sultan, namun Sunan Ampel tidak mau dan Raden Patah pun mau setelah Sunan Ampel menyatakan bahwa penunjukan itu adalah sebagai perintah seorang guru pada muridnya.
Dari kejadian itu kita dapat menangkap cara berfikir Sunan Ampel, bahwa beliau sangat toleransi dengan budaya Jawa, beliau tahu kalau semua bangsa memiliki kelompok yang di-bangsawan-kan. Maka Sunan Ampel sama sekali tidak melupakan hal itu walaupun beliau sendiri dan Wali-wali lain yang masih putra-putra dan keponakan beliau- adalah bangsawan-bangsawan Quraisy keturunan Rasulullah SAW, bahkan beliau sendiri adalah menantu keluarga Kerajaan Majapahit.
Sunan Ampel memilih Raden Patah karena beliau adalah orang ‘alim yang memiliki “darah biru” tertinggi menurut bangsa Majapahit, karena beliau adalah putra Prabu Brawijaya V. Sunan Ampel sama sekali tidak merubah tatanan budaya masyarakat Jawa dalam pengangkatan seorang Sultan pemimpim kaum muslimin.
Penyerbuan Demak terhadap Majapahit
Sebagian orang mengira bahwa dalam pertempuran antara Demak dan Majapahit adalah pertempuran antara anak (Raden Patah) dan orang tua (Brawijaya V). Adapun yang benar adalah cerita sebagai berikut.
Pada awal-awal berdirinya Kesultanan Demak, Raden Patah mengajukan pendapat pada Sunan Ampel untuk menaklukkan Majapahit, namun Sunan Ampel menolak dan menjelaskan bahwa bukan demikian cara menyebarkan Islam, tidak ada paksaan dalam Islam. Selama kaum muslimin tidak diserang maka Islam tidak membenarkan penyerangan terhadap non muslim.
Memang benar kata Sunan Ampel, menyerang adalah cara yang pernah dilakukan oleh Dinasti Umawi (Khalifa Mu’awiyah dan penerusnyanya). Mu’awiyah dan anaknya, Yazid, banyak merubah cara-cara Islam, mulai dari sistem Khilafah yang mereka rubah menjadi sistem Kerajaan, hingga cara menyebarkan Islam dengan halus yang mereka rubah menjadi dengan peperangan. Mereka memang berhasil menaklukkan banyak bangsa, namun cara itu sebenarnya tidak berhasil dengan baik, karena bangsa-bangsa yang takluk karena diserang tidak akan memeluk Islam dengan baik, terbukti banyak negeri taklukan Dinasti Umawi yang kemudian murtad atau kembali menjadi bangsa kafir.
Berkatalah seorang sejarahwan Jerman: “Seandainya Mu’awiyah tidak merubah cara Muhammad didalam berda’wah, seandainya ia tidak menyebarkan Islam melalui peperangan, niscaya hari ini penduduk Jerman telah menjadi bangsa muslim.
Kembali pada Kesultanan Demak. Setelah Sunan Ampel menolak untuk menaklukkan Majapahit maka Raden Patah tidak lagi berpikir untuk menyerang Majapahit. Namun setelah Sunan Ampel Meninggal, terjadilah penyerangan dari Kerajaan Kediri terhadap Kerajaan Majapahit, Majapahit pun jatuh ke tangan Kediri, Brawijaya V lari entah kemana. Maka seorang Panglima Kediri menduduki kursi singgasana Majapahit dan iapun menggunakan gelar “Brawijaya VI”. Kemudian Brawijara VI mengadakan perjanjian bersekutu dengan pasukan Portugis yang waktu itu telah menguasai Samudera Pasai, dengan maksud untuk menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak.
Mengetahui bahwa “Majapahit Baru” telah bersekutu dengan bangsa asing, maka Sunan Giri, penasehat Raden Patah setelah Sunan Ampel, mengisyaratkan perang menyerang “Majapahit Baru”. Raden patah pun bersama pasukan menyerang dan menaklukkan “Majapahit Baru”, beliaupun merampas mahkota dan pusaka-pusaka yang lain milik Keraton Majapajit.
Maka dalam penyerangan Demak itu kita dapat menyimpulkan bahwa Sunan Giri mengisyaratkan perang melawan “Majapahit Baru” bukan dalam rangka merampas kekuasaan, melainkan untuk menyelamatkan bangsa Jawa pada umumnya, karena perjanjian “Majapahit Baru” dengan Portugis berarti menjual bangsa sendiri terhadap bangsa asing. Kemudian mengenai mahkota dan pusaka-pusaka Majapahit yang diambil Raden Patah adalah milik ayah beliau sendiri, justru dengan mengambil semua itu berarti beliau telah menyelamatkan harga diri ayah beliau, Brawijaya V”, karena berarti Mahkota dan pusaka-pusaka tidak jatuh ke tangan musuh, meliankan jatuh ke tangan anak sendiri, apalagi sebagian riwayat mengatakan bahwa Raden Patah sempat diangkat sebagai Putra Mahkota oleh Brawijaya V, maka berarti mahkota itu benar-benar jatuh pada orang yang berhak. Dari itu, sungguh tidak benar apa yang dikatakan sebagian orang bahwa Raden patah menyerah ayahnya sendiri, itu hanya salah paham saja.
PERINSIP DAN DASAR PENDIRIAN ROBITHOH AZMATKHAN
Mengingat keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan banyak tersebar di Indonesia melalui sebagian besar anggota Walisongo, sedangkan kebanyakan mereka tidak saling mengenal keluarga dari jalur lain, maka didirikanlah Robithoh Azmatkhan pada tahun 2005 di Pesantren Tattangoh Pamekasan dan dikukuhkan pada hari ahad tanggal 16 syawal 1428 / 28 Oktober 2007 di Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo Jawa Timur.
Robithoh Azmatkhan didirikan untuk tujuan-tujuan penting sebagai berikut:
- mengamalkan sabda Rasulullah SAW:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلكِنَّ الْوَاصِلَ إِذَا انْقَطَعَ رَحِمُهُ وَصَلَهُ - “Bukanlah orang menyambung keluarga itu yang saling membalas, melainkah orang yang apabila ada keluarga yang terputus maka iapun menyambung keluarga itu.”
- Memanfaatkan hubungan keluarga untuk mempererat hubungan para Kiai dan tokoh Indonesia yang kebanyakan masih keturunan Walisongo. Harapannya, kebersatuan mereka akan membawa kebaikan untuk ummat.
- Mendata seluruh keluarga keturunan Azmatkhan untuk diketahui kondisi agama dan ekonominya, untuk kemudian diadakan pembinaan pada keluarga yang kurang pengetahuan agamanya dan lemah ekonominya, karena tidak sedikit keluarga yang menyimpan silsilah dengan rapi tapi agama dan ekonominya memperihatinkan.
- Mensosialisasikan ajaran dan manhaj leluhur, khususnya kepada generasi muda keluarga keturunan Azmatkhan, agar meneladani leluhur, khususnya ajaran dan manhaj Walisongo
Tiada ulasan:
Catat Ulasan